Hari itu sama dengan hari-hari lainnya.
saya, kedua kakak serta ibu.
Duduk bersama sambil menonton televisi kecil. Keciiiiil sekali.
Kalian tahu televisi yang biasa bertengger di pos ronda?
Ya. Seperti itulah.. bahkan lebih bagus televisi pos ronda dibanding yang saya miliki dulu.
Singkat cerita, televisi kami yang 14 inch rusak. Padahal tv jadi barang penting saat itu. Penggunaan internet dan smartphone belum terjamah. Pokoknya sumber kebahagiaan di masa lalu ya hanya TV.
Akhirnya kami pakai TV hitam kecil yang sangaat kecil peninggalan ayah yang dahulu biasa dipakai menonton acara tinju favoritnya. Dengan dua batang Antena yang mencuat di atasnya. Biasanya kami gerak-gerakkan kedua antena itu saat tiba-tiba channel yang kami tonton jadi layar semut. Gambar yang dihasilkan pun hitam-putih. Maka tiap keesokan harinya di sekolah, saat teman-teman membicarakan acara semalam yang tayang di TV "apa kamu liat yang pake baju biru itu semalem?" saya nggak tahu siapa yang pakai baju biru. karena ya itu tadi, tv yang warnanya hitam putih. entah mengapa itu jadi hal lucu jika diceritakan saat ini. Namun tidak untuk saat itu. Bisa jadi bencana untuk kehidupan sosial saya disekolah karena dianggap nggak asyik dan tidak nyambung saat diajak bercerita.
Seringkali juga kami bertengkar karena pada saat nonton TV kepala kakak-kakak saling menghalangi. Bagaimana tidak menghalangi? ukuran TV nya saja lebih kecil dibanding kepala mereka. Jika volume nya kurang keras, kami biasanya putar benda seperti roda yang berada di sisi kanan TV.
Jika ada acara lucu kami tertawa bersama. Saya bisa mendengar suara tawa kakak-kakak dan ibu disaat yang bersamaan.
Saat kami barangkali ribut seputar kepala yang saling menghalangi pandangan atau rebutan menonton acara TV, ibu jadi orang yang mengalah dan melerai kami yang bertengkar itu.
Saya juga tidak tahu mengapa ibu tidak membetulkan TV tabung 14 inch kami itu.
namun dipastikan itu kendala uang. Maklum saja membesarkan tiga orang anak yang masih sekolah butuh uang yang tidak sedikit. Mungkin ibu lebih memilih menggunakan uangnya untuk hal yang dianggapnya merupakan proritas dibanding menggunakannya untuk sekedar service TV.
Harapan saya saat itu hanya satu.
Saya berharap ibu memiliki uang agar bisa membetulkan TV secepatnya. jika bisa membeli TV yang besaaaaaar sekali. seperti TV yang pernah kulihat di rumah kakaknya ibu, yang besarnya seperti layar bioskop (pemikiran saya saat itu). Pastilah senang hati jika bisa menonton di TV sebesar itu. Tidak perlu lagi bertengkar dengan kakak-kakak.
Waktu berlalu, kami sekarang punya TV. Jelas lebih besar dibanding TV hitam-putih kami dulu yang hanya seperti kubus hitam ber-antena. dan juga tidak ada tabung dibelakangnya. Layarnya datar. Gambar yang dihasilkan berwarna dan jernih tidak lagi harus sibuk memegangi antenanya sembari menonton. Harusnya saya senang ya?
Ternyata tidak.
Harapan saya untuk memiliki TV yang bagus sudah tercapai namun mesti kehilangan kesempatan untuk kembali duduk menonton TV bersama keluarga.
atas nama waktu dan kondisi yang telah berubah, tentunya kami sudah sulit sekali menikmati acara TV sambil tertawa bersama seperti dahulu.
kakak menikah, kakak bekerja, saya kuliah, ibu ya dirumah, kami jarang bisa menikmati kebersamaan seperti dahulu.
Namun memoriku saat melihat keluargaku adalah tetap sama.
Bahwa kami bisa tetap bersama menikmati kebahagiaan dari hal kecil, tak peduli sesusah apa kehidupan kami.
Inilah sepenggal kisah dari kisah televisi hitam putih kami.
dan bagaimana nasib si kubus kecil hitam ber-antena yang penuh dengan coret-coretan tip-ex itu? si kecil yang telah menemani hari-hari masa kecilku itu? entahlah.
setidaknya engkau pernah ciptakan kebersamaan untuk keluarga saya :)
Terimakasih televisi kecil kami...
saya, kedua kakak serta ibu.
Duduk bersama sambil menonton televisi kecil. Keciiiiil sekali.
Kalian tahu televisi yang biasa bertengger di pos ronda?
Ya. Seperti itulah.. bahkan lebih bagus televisi pos ronda dibanding yang saya miliki dulu.
Singkat cerita, televisi kami yang 14 inch rusak. Padahal tv jadi barang penting saat itu. Penggunaan internet dan smartphone belum terjamah. Pokoknya sumber kebahagiaan di masa lalu ya hanya TV.
Akhirnya kami pakai TV hitam kecil yang sangaat kecil peninggalan ayah yang dahulu biasa dipakai menonton acara tinju favoritnya. Dengan dua batang Antena yang mencuat di atasnya. Biasanya kami gerak-gerakkan kedua antena itu saat tiba-tiba channel yang kami tonton jadi layar semut. Gambar yang dihasilkan pun hitam-putih. Maka tiap keesokan harinya di sekolah, saat teman-teman membicarakan acara semalam yang tayang di TV "apa kamu liat yang pake baju biru itu semalem?" saya nggak tahu siapa yang pakai baju biru. karena ya itu tadi, tv yang warnanya hitam putih. entah mengapa itu jadi hal lucu jika diceritakan saat ini. Namun tidak untuk saat itu. Bisa jadi bencana untuk kehidupan sosial saya disekolah karena dianggap nggak asyik dan tidak nyambung saat diajak bercerita.
Seringkali juga kami bertengkar karena pada saat nonton TV kepala kakak-kakak saling menghalangi. Bagaimana tidak menghalangi? ukuran TV nya saja lebih kecil dibanding kepala mereka. Jika volume nya kurang keras, kami biasanya putar benda seperti roda yang berada di sisi kanan TV.
Jika ada acara lucu kami tertawa bersama. Saya bisa mendengar suara tawa kakak-kakak dan ibu disaat yang bersamaan.
Saat kami barangkali ribut seputar kepala yang saling menghalangi pandangan atau rebutan menonton acara TV, ibu jadi orang yang mengalah dan melerai kami yang bertengkar itu.
Saya juga tidak tahu mengapa ibu tidak membetulkan TV tabung 14 inch kami itu.
namun dipastikan itu kendala uang. Maklum saja membesarkan tiga orang anak yang masih sekolah butuh uang yang tidak sedikit. Mungkin ibu lebih memilih menggunakan uangnya untuk hal yang dianggapnya merupakan proritas dibanding menggunakannya untuk sekedar service TV.
Harapan saya saat itu hanya satu.
Saya berharap ibu memiliki uang agar bisa membetulkan TV secepatnya. jika bisa membeli TV yang besaaaaaar sekali. seperti TV yang pernah kulihat di rumah kakaknya ibu, yang besarnya seperti layar bioskop (pemikiran saya saat itu). Pastilah senang hati jika bisa menonton di TV sebesar itu. Tidak perlu lagi bertengkar dengan kakak-kakak.
Waktu berlalu, kami sekarang punya TV. Jelas lebih besar dibanding TV hitam-putih kami dulu yang hanya seperti kubus hitam ber-antena. dan juga tidak ada tabung dibelakangnya. Layarnya datar. Gambar yang dihasilkan berwarna dan jernih tidak lagi harus sibuk memegangi antenanya sembari menonton. Harusnya saya senang ya?
Ternyata tidak.
Harapan saya untuk memiliki TV yang bagus sudah tercapai namun mesti kehilangan kesempatan untuk kembali duduk menonton TV bersama keluarga.
atas nama waktu dan kondisi yang telah berubah, tentunya kami sudah sulit sekali menikmati acara TV sambil tertawa bersama seperti dahulu.
kakak menikah, kakak bekerja, saya kuliah, ibu ya dirumah, kami jarang bisa menikmati kebersamaan seperti dahulu.
Namun memoriku saat melihat keluargaku adalah tetap sama.
Bahwa kami bisa tetap bersama menikmati kebahagiaan dari hal kecil, tak peduli sesusah apa kehidupan kami.
Inilah sepenggal kisah dari kisah televisi hitam putih kami.
dan bagaimana nasib si kubus kecil hitam ber-antena yang penuh dengan coret-coretan tip-ex itu? si kecil yang telah menemani hari-hari masa kecilku itu? entahlah.
setidaknya engkau pernah ciptakan kebersamaan untuk keluarga saya :)
Terimakasih televisi kecil kami...
Komentar
Posting Komentar