Ibuku. Perempuan paling hebat dan kuat di mataku. Ditinggal ayahku kurang lebih 10 tahun dan sempat dipertemukan kembali. Namun pertemuan mereka hanya berlangsung dua hari karena ayah harus menghadap Tuhan.
Kenyataan pahit memang. Ayahku pergi ke Kalimantan sejak aku kelas 3 SD. Semenjak itu, ibuku berjuang membesarkan aku dan kedua kakakku sendirian. Meski pergi, ayahku tetap menafkahi kami dengan mengirimi uang pensiunannya yang tak seberapa tiap bulan.
Dengan uang seadanya, kami berempat menjalani hidup yang lumayan berat. 'Yang penting untuk hari ini bisa makan. Besok urusan besok'. Begitu pola pikir kami kala itu. Setiap hari yang ada dipikirkan kami hanya bagaimana caranya besok bisa makan dan tentunya tetap sekolah.
Aku bahkan jarang dibekali uang jajan. Hampir tak pernah. Tiap kali waktu istirahat tiba, aku langsung lari ke rumahku dan makan apa yang disediakan di sana. Kalau ada lauk enak, bersyukur. Kalau tak ada, makan apa saja. Sayur sop sisa kemarin yang dihangatkan juga masih enak dimakan.
Dari perjalanan hidup yang sedemikian rupa, aku dan kakakku terlatih untuk saling berbagi sekecil apapun, terutama makanan. Beli satu bungkus biskuit, harus dibagi rata. Jika tersisa satu biskuit, maka biskuit itu harus dipotong kecil-kecil untuk kembali dibagi rata.
Meski ibu terlihat tegar saat menjalani hidup sulit itu, aku diam-diam sering melihatnya menangis. Dalam salat malamnya, ia berdoa mencoba menahan isak tangis. Walau tak mendengar doanya, bisa kupastikan bahwa ia meminta kehidupan kami lebih baik kepada Tuhan. Aku pun sedih mendengarnya menangis setiap hari.
Tapi jika ibuku memiliki uang lebih, ia selalu berusaha memenuhi keinginan kami. Ibu membelikanku es krim, makanan kesukaanku. Tak lupa ia mengajak anak-anaknya makan di mall. 'biar enggak norak' katanya.
Ketika aku ulang tahun, memang tak ada perayaan pesta. Tapi ibu sering membuat kue ulang tahun dengan bolu buatannya. Tak semewah The Harvest, Breadtalk, dan teman-temannya yang lain. Tapi kue ini dibuat dengan penuh cinta. Bentuknya bulat berwarna hijau dengan berhias krim dan taburan meses diseluruh bagiannya. Tapi aku bahagia karena hari kelahiranku jadi terasa spesial.
Apapun dalam hidupku diisi tentang ibu. Ketika aku lulus SD, ibu membuat semua perlengkapan ospek masuk SMP. Begitu pula saat aku masuk SMA. Semua serba ibuku yang mengurusnya, tanpa didampingi ayahku.
Bahkan hingga ke jenjang kuliah, ibuku terus menemaniku. Hari pertama aku menjalani tes, dia rela menemaniku duduk di luar. Bahkan saat aku hendak melamar kerja, dia juga rela menemani dan menunggu.
"Itu ibunya siapa di luar? kasihan banget" ujar seorang karyawan di tempatku melamar kerja pertama kali. Aku kemudian menunjuk diriku sendiri dengan malu.
Tapi berapapun umurku, ibu tak pernah malu menemaniku kemana saja. Bahkan ia pernah bertanya apakah pengambilan nilai di kampus juga harus diwakili orangtua. Kubilang, "gak usah ma, kan bukan kayak rapot SD".
Ibuku rajin bertanya setiap kali aku pulang kuliah. "tadi belajar apa? Bisa gak?". Lalu kujawab sekenanya. Aku balik bertanya, "kenapa sih mama nanya mulu?".
Lalu dia jawab dengan pernyataan yang mengiris hatiku. "ya kan mama pengin tahu. Mama gak pernah kuliah, anak perempuan mama yang kuliah cuma kamu aja, mas aji kan laki-laki," katanya.
Sebegitu bangganya ibuku dengan status mahasiswaku kala itu. Andai dia tahu aku bukanlah golongan anak pandai dalam belajar, akan sesakit apa hatinya. Meski merasa kemampuanku kurang, aku bertekad menyelesaikan studiku. Setidaknya membuat ibuku senang melihat anaknya sarjana.
Satu yang tak bisa kulupakan, ketika aku melihat binar mata ibu usai aku diwisuda. Ia tampak bangga. Barangkali ia tak tahu nilaiku sebenarnya pas-pasan. Yang penting dia melihatku berjabat tangan dengan rektor kampusku dan resmi menyandang gelar sarjana. Betapa antusiasnya ibuku saat kami berfoto bersama di hari wisudaku.
Saat aku dewasa pun, ibuku selalu berusaha membuat aku bahagia. Ia seolah ingin menebus masa kecilku yang dipenuhi dengan hidup sulit. Ia pernah membelikanku guling boneka kelinci dan boneka beruang kecil. Kakakku bilang, ibu kasihan kepadaku karena hampir tak pernah dibelikan boneka saat kecil.
Ya, aku bersyukur dilahirkan oleh ibuku yang menyayangi anak-anaknya. Aku punya ibu yang bertanggungjawab. Tak pernah sedikitpun terlintas dipikirannya untuk meninggalkan ketiga anaknya di keadaan yang susah. Ataupun berpaling dari ayahku dan menjalin hubungan dengan pria lain. Meski ditinggal tanpa komunikasi yang jelas, ia tetap memilih setia dengan ayahku dan selalu menantinya karena satu hal. Ibuku terus berkata dia pria baik. Aku belajar banyak hal tentang pandangannya terhadap sosok pria.
Selepas ayah meninggal, aku sering bertanya apakah dirinya ingin menikah lagi. Ibuku tak mau. Dia percaya orang yang terakhir kali menikah dengannya akan kembali dipertemukan di surga. Ia berharap bisa dipersatukan kembali dengan ayahku di surga.
Kini ibu juga telah tiada menyusul ayahku. Aku berdoa agar apa yang diinginkannya bisa dikabulkan Allah.
Kedua orangtuaku sudah tak ada di dunia ini. Sedih? Iya tentu saja. Tapi aku yakin mereka akan jauh lebih sedih ketika tahu kerapuhanku di dunia ini tanpa mereka.
Meski berat, aku ingin berusaha tegar. Karena hidup harus dijalani. Aku percaya manusia dilahirkan ke dunia ini karena mampu melewati hidup yang telah digariskan oleh Tuhan. Begitu pula aku.
Komentar
Posting Komentar