Eksistensi
Media Cetak di Indonesia
Oleh: Lintang Tribuana Widya Wardani
Sebelum hadirnya radio, televisi, dan internet,
media cetak merupakan media massa tertua yang hadir untuk memberikan beragam
informasi kepada khalayak. Surat kabar pertama di dunia yaitu “Acta Diuma” terbit pada tahun 59 SM di Roma, pada
zaman Julius Caesar. Surat kabar tersebut berisi kebijakan – kebijakan kaisar,
pengumuman resmi, dan informasi penting lainnya. Pada masa itu surat kabar
tersebut masih berupa tulisan yang diukir pada logam atau batu.
Pada
abad 19 saat perang Utara dan Selatan yang membagi Amerika, media cetak mulai
diproduksi massal untuk dijual atau bahkan dierikan secara gratis untuk alat
propaganda saat berperang. Kemudian mulai berkembang juga di negara Inggris dan
Amerika. Baru pada abad 20 surat kabar majalah menjadi industri dan hidup dari
iklan.
Tonggak sejarah media cetak Indonesia dimulai
pada 1744. Saat itu media massa cetak telah dikuasai sepenuhnya oleh
kolonialisme Belanda. Oleh karena itu, bahasa yang digunakan pun bahasa Belanda
dan isi beritanya pun mengenai orang-orang Eropa di Indonesia. Kemudian pra
kemerdekaan dan awal kemerdekaan muncullah majalah Pantja Raja (Jakarta),
Menara Merdeka (Ternate), Djojobojo (Kediri), dan Obor (Blitar) dan Revue
Indonesia yang kebanyakan berisi seruan-seruan kemerdekaan dan menghapus
kolonialisme.
Hingga
kini seiring berkembangnya waktu media cetak hadir dengan berbagai bentuk. Ada
tabloid, surat kabar, majalah yang tentunya hadir dengan beragam segmentasi
agar dapat memenuhi segala kebutuhan informasi khalayak. Namun munculnya new media atau media online dengan
segala kepraktisannya yang digandrungi oleh masyarakat modern tentunya jadi
sorotan bagi media cetak.
Banyak
media cetak Indonesia yang sebagian bertransformasi ke online dan sebagian lagi
tutup usia karena sulit bersaing dengan online dan perusahaan penerbitan harus berpikir keras
menambal biaya produksi. Seperti
HAI (beralih ke online), Sinar
Harapan , Soccer, Harian Bola, The Jakarta Globe, Indonesia Finance, dan Maxim.
Namun
seperti yang dikutip dari Jawapos.com, menurut Manajer Jawa Pos Newsroom Abdul Rokhim bahwa 10 besar koran di
dunia dengan oplah terbanyak, 9 di antaranya berasal dari Asia. Karena rahasianya
ada pada kedekatan dari konten dan packaging. Masyarakat menggunakan bahasa dan huruf lokal sehingga isu
yang diangkat pun lokal. Meskipun digempur dengan penetrasi media online, media
tradisional(cetak), masih penting dan dibutuhkan. Mengacu pada sebuah survei, masyarakat
Indonesia masih mempercayai koran sebanyak 75 persen.
Abdul
memaparkan bahwa Hal itu terjadi karena lama-lama masyarakat mulai cerdas bahwa
medsos mulai ngawur. Berbeda dengan media cetak yang dibuat dengan proses
panjang. Dimulai dari seleksi narasumber, cek dan ricek fakta, akhirnya menjadi
acuan, tolok ukur, otentikator dan menjadi kurator informasi mana yang layak
disampaikan. Juga menjadi moderator dari banyaknya kepentingan namun tidak
memihak. Serta banyak memberikan sudut pandang pada sebuah peristiwa atau isu.
Terbukti
bahwa eksistensi media cetak di Indonesia sebenarnya masih bisa terjaga walaupun
dihantam oleh media online, karena proses panjangnya dalam mengolah berita
adalah keunggulannya. Sehingga lambat laun media cetak akan kembali dicari oleh
masyarakat karena produksi beritanya lebih valid dan terverifikasi
Namun tetap
tidak bisa disangkal bahwa konvergensi media adalah hal mutlak agar media
tersebut tetap bertahan di tengah arus bisnis dan dapat terus menyebarkan
informasi berkualitas kepada seluruh lapisan masyarakat.
(Dari berbagai sumber)
Komentar
Posting Komentar